Sebagai seorang muslim, sebenarnya saya malu untuk mengatakan kalau saya tidak mengetahui adanya suatu perintah untuk Tabayyun.
Apa sih tabayyun itu??? jujur saya baru mengenal istilah tabayyun dari
seorang teman sekitar se tahun yang lalu. Ketika berdiskusi tentang
keseharian, diskusi tentang ibadah dan lain – lain, sering teman
tersebut mengungkapkan kata Tabayyun, sebenarnya malu juga sebagai
seorang muslim yang telah belajar agama dari kecil tidak mengetahui apa
itu Tabayyun, oleh karena itu saya coba buka buka pencarian di google
untuk mengetahui apa itu Tabayyun.
Ternyata tidak sulit mencari arti kata
Tabayyun….sekali klik google, saya menemukan Sekitar 99.600 hasil
pencarian kata tersebut.
Beberapa definisi yang saya temukan adalah:
“Tabayyun secara bahasa memiliki arti
mencari kejelasan tentang sesuatu hingga jelas benar keadaannya.
Sedangkan secara istilah adalah meneliti dan meyeleksi berita, tidak
tergesa-gesa dalam memutuskan masalah baik dalam hal hukum, kebijakan
dan sebagainya hingga jelas benar permasalahannya.”
Allah SWT berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, jika
datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan
teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum
tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu”. (Al Hujurat 6)
Dalam ayat tersebut tersirat suatu
perintah Allah, bahwa setiap mukmin, hendaknya bersikap hati-hati dan
teliti terhadap orang lain. Jangan tergesa-gesa menuduh orang lain,
apalagi tuduhan itu diikuti dengan tindakan yang bersifat merusak atau
kekerasan. Terhadap mereka yang mengucap ”Assalamu’alaikum” atau ”la
ilaha illallah”, misalnya, yaitu ucapan yang lazim dalam Islam, terhadap
orang tersebut tidak boleh dituduh ”kafir”, sekalipun ucapan itu hanya
dhahirnya. Ini hanya sekedar contoh, di mana kita tidak boleh gegabah
dalam mensikapi orang lain.
Peringatan dan pesan Allah dalam ayat ini
tentu bukan tanpa sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi. Terdapat
beberapa riwayat tentang sebab turun ayat ini yang pada kesimpulannya
turun karena peristiwa berita bohong yang harus diteliti kebenarannya
dari seorang Al-Walid bin Uqbah bin Abi Mu’ith tatkala ia diutus oleh
Rasulullah untuk mengambil dana zakat dari Suku Bani Al-Musththaliq yang
dipimpin waktu itu oleh Al-Harits bin Dhirar seperti dalam riwayat Imam
Ahmad. Al-Walid malah menyampaikan laporan kepada Rasulullah bahwa
mereka enggan membayar zakat, bahkan berniat membunuhnya, padahal ia
tidak pernah sampai ke perkampungan Bani Musththaliq. Kontan Rasulullah
murka dengan berita tersebut dan mengutus Khalid untuk mengklarifikasi
kebenarannya, sehingga turunlah ayat ini mengingatkan bahaya berita
palsu yang coba disebarkan oleh orang fasik yang hampir berakibat
terjadinya permusuhan antar sesama umat Islam saat itu.
Yang menjadi catatan disini bahwa
peristiwa ini justru terjadi di zaman Rasulullah yang masih sangat
kental dan dominan dengan nilai-nilai kebaikan dan kejujuran. Lantas
bagaimana dengan zaman sekarang yang semakin sukar mencari sosok yang
jujur dan senantiasa beri’tikad baik dalam setiap berita dan informasi
yang disampaikan?
Kasus lain menimpa istri Rasulullaah SAW
yaitu Aisyah ra. Ia telah dituduh dengan tuduhan palsu oleh Abdullaah
bin Ubai bin Salul, gembong munafiqin Madinah. Isi tuduhan itu adalah
bahwa Aisyah ra telah berbuat selingkuh dengan seorang lelaki bernama
Shofwan bin Muathal. Padahal bagaimana mungkin Aisyah ra akan melakukan
perbuatan itu setelah Allaah swt memuliakannya dengan Islam dan
menjadikannya sebagai istri Rasulullaah saw.
Namun karena gencarnya Abdullaah bin Ubai
bin Salul menyebarkan kebohongan itu sehingga ada beberapa orang
penduduk Madinah yang tanpa tabayyun, koreksi dan teliti ikut
menyebarkannya hingga hampir semua penduduk Madinah terpengaruh dan
hampir mempercayai berita tersebut. Tuduhan ini membuat Aisyah RA
goncang dan stress, bahkan dirasakan pula oleh Rasulullaah saw dan
mertuanya. Akhirnya Allaah SWT menurunkan ayat yang isinya mensucikan
dan membebaskan Aisyah ra dari tuduhan keji ini [baca QS An Nuur 11-12].
Tahun 2014 di Indonesia dikenal sebagai
Tahun Politik, diawali dengan Pemilihan Calon Anggota Legislatif di
bulan April dan memuncak pada Bulan Juli 2014. Calon anggota legeslatif
sibuk tebar pesona, demikian juga dengan partai politik yang kian massif
melakukan pencitraan. Puncaknya adalah proses pemilihan calon Presiden
2014, masyarakat Indonesia disuguhi berbagai macam bentuk kampanye
politik, baik yang positif, kampanye negatif, kampanye abu-abu maupun
kampanye hitam.
Dalam kaitannya dengan perintah Tabayyun,
kita diwajibkan meneliti ulang kebenaran berita atau informasi yang
disampaikan. Informasi yang disampaikan oleh media cetak maupun
elektronik sekarang hampir tidak mengindahkan kaidah jurnalistik. Media
masa sekarang sudah tidak malu – malu lagi dalam memberikan dukungan
kepada salah satu partai ataupun calon presiden, dukungan mereka tidak
hanya dengan seringnya menampilkan figur yang di dukungnya saja, tetapi
mereka tidak segan – segan memberitakan aib dari figur yang menjadi
pesaing jagoannya, atau bahkan memuat berita yang mengarah ke pembunuhan
karakter dan cenderung FITNAH. Isinya pelintiran opini, menyebarkan aib
seseorang, fitnah, kebohongan dan tuduhan tanpa bukti.
Selain itu Media online berupa jejaring
sosial, forum – forum, blog, website juga demikian mudah memberitakan
aib seseorang, memelintir opini, berita dusta dan fitnah, yang parahnya
lagi berita tersebut dengan gampangnya di share dan dikomentari oleh
ribuan orang dan mempublikasikannya di mana-mana.
Sungguh sangat mengerikan apabila kita
langsung menerima informasi tersebut tanpa melakukan tabayyun terlebih
dahulu. Ummat Islam wajib meneliti kebenaran dari informasi tersebut.
Jika berita datang dari orang yang kurang dipercaya, kita wajib meneliti
dan jangan terburu-buru dalam menghukuminya. Dari sinilah datang dalil
ancaman keras bagi orang yang menggunjing, yaitu menukil sebagian
perkataan orang yang bermaksud merusak orang lain.
Rosulullah sallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tidaklah masuk Surga orang yang pemfitnah.”(Tafsir Ibnu Utsaimin: 7/16)
From :syamaidzar.wordpress.com
0 komentar:
Posting Komentar